Beranda | Artikel
Keadaan Salafush Shalih di Malam Hari (1)
Selasa, 18 Mei 2004

BEBERAPA GAMBARAN MENGENAI QIYAAMUL LAIL

Keadaan Salafush Shalih di Malam Hari
Salafush Shalih adalah orang-orang yang berpaling dari dunia dan menggantinya (dengan akhirat) dan mereka tidak menjual perjanjian Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan harga yang sedikit. Mereka adalah orang-orang yang mengkhawatirkan kemalangan (di akhirat) dan mereka mencemaskan yang terdahulu dalam hal yang ghaib dan tersembunyi, maka hal itu akan menghalangi antara mereka dengan apa yang mereka inginkan, mereka selalu menunggu akhir ajalnya, bagaimana keadaannya, mereka itulah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih.

Gambaran Ibadah Para Salafush Shalih
1. ‘Amir bin Qais rahimahullah.
Dia adalah panutan, seorang wali, seorang yang zuhud dan rahib umat ini.

Mengenai dirinya, al-Hasan berkata, “‘Amir melakukan shalat di antara dua shalat ‘Isya’ (Maghrib dan ‘Isya’), kemudian pulang ke rumahnya, lalu makan roti dan tidur sejenak, kemudian bangun untuk melakukan shalat, kemudian sahur dan keluar (untuk melakukan shalat Shubuh berjama’ah).”[1]

Dia melakukan shalat hingga kedua telapak kakinya membengkak, lalu dia berkata, “Wahai orang yang selalu memerintahkan keburukan, sesungguhnya engkau diciptakan hanyalah untuk beribadah.”[2]

Istrinya pernah berkata, “Orang-orang sedang tidur sedangkan engkau tidak tidur.” Dia menjawab, “Sesungguhnya Neraka Jahannam tidak akan membiarkan aku tertidur.”[3]

Qatadah berkata, “Tatkala kematiannya menjelang, ‘Amir menangis, lalu ada yang bertanya, ‘Apa yang membuatmu menagis?’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku menangis karena takut akan kematian, juga bukan karena tamak atas dunia ini, akan tetapi aku menangis atas rasa haus di tengah hari dan ibadah di malam hari (karena tidak dapat melanjutkan lagi).`”[4]

2. Ar-Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah
Dia adalah pemimpin yang menjadi panutan, seorang ahli ibadah dan salah seorang imam terkenal.
Ketika Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu melihatnya, beliau berkata, “Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). Demi Allah, seandainya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, pastilah beliau akan mencintaimu.”[5]

Dia adalah seorang pendiam, selalu khusyu’, sangat memelihara pandangannya hingga sebagian orang mengira bahwa dia adalah orang buta, maka ketika pelayan wanita Ibnu Mas’ud melihatnya, dia berkata (kepada Ibnu Mas’ud), “Temanmu yang buta telah datang.” Lalu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu tertawa (karenanya).[6]

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin ‘Ajlan, dia berkata, “Pada suatu malam, aku pernah bermalam bersama ar-Rabi’ bin Khutsaim, lalu dia bangun untuk melakukan shalat, ketika melewati ayat ini: أَمْ حَسِبَ الَّذِيـنَ اجْتَـرَحُوا السَّيِّئَاتِ ‘Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu’ (Al-Jaatsiyah/45: 21), dia terdiam pada malamnya itu, hingga ketika memasuki waktu Shubuh, dia tidak melewati ayat ini ke ayat lainnya dikarenakan isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi.”[7]

Tatkala ibundanya melihat dia sering menangis dan selalu bersungguh-sungguh serta apa yang diperbuatnya dengan dirinya, maka dia berkata kepadanya, “Wahai anakku, bisa jadi engkau akan mati terbunuh, tidakkah engkau takut jika engkau mati karena ini?” Dia menjawab, “Ya,” lalu ibundanya bertanya, “Siapakah dia hingga kami meminta kepada mereka agar mereka mau memaafkan dirimu dan membiarkan hak mereka darimu? Demi Allah, jika mereka melihat apa yang engkau temui, pastilah mereka akan mengasihanimu dan berbuat baik kepadamu.” Lalu dia menjawab, “Aku membunuh diriku sendiri.” Yang dia maksud adalah membunuhnya dengan kemaksiatan dan dosa.[8]

3. ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah
Dia adalah khalifah yang zuhud dan cerdas, dia adalah khalifah Bani Umayyah yang paling sengsara. Dia termasuk imam mujtahid dan termasuk dalam jajaran al-Khulafaur Rasyidin.

Istrinya, Fathimah pernah berkata, “Mughirah menceritakan kepada kami bahwa tidak ada orang yang paling banyak berpuasa dan ibadah daripada ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling takut kepada Rabb-nya selain dia. Setelah selesai melakukan shalat ‘Isya’, dia duduk di masjidnya, kemudian mengangkat kedua tangannya, lalu tiada henti-hentinya dia menangis hingga matanya tertidur, kemudian tidak lama kemudian dia terbangun, dan tiada henti-hentinya dia berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya hingga matanya tertidur. Semua ini dilakukannya sepanjang malamnya.”[9]

Makhul berkata, “Seandainya aku bersumpah, pastilah aku akan menepatinya, aku tidak pernah melihat orang yang paling zuhud dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala selain ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.”[10]

Fathimah, istri ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah menangis hingga pandangannya tertutup, lalu kedua saudaranya, yaitu Muslimah dan Hisyam, dua orang putera ‘Abdul Malik mengunjunginya, lalu keduanya bertanya, “Urusan apa yang membuatmu demikian? Apakah suaminya yang membuatmu sedih? Memang tidak ada orang seperti dirinya yang dapat membuat orang sedih, ataukah ada suatu hal keduniaan yang hilang dari dirimu? Ketahuilah, harta dan keluarga kami ada di hadapanmu.” Fathimah menjawab: “Tidak ada yang membuatku sedih dan tidak ada hal keduniaan pun yang aku sesalkan, hanya saja, demi Allah, aku pernah melihat suamiku pada suatu malam, lalu aku baru mengetahui bahwa yang membuatnya keluar menuju hal itu adalah suatu kegaduhan besar yang pernah aku lihat, sungguh hatinya itu telah menenangkan pengetahuannya.” Keduanya bertanya, “Apa yang engkau lihat darinya?” Fathimah menjawab, “Aku pernah melihatnya pada suatu malam, dia berdiri melakukan shalat, lalu tibalah dia membaca ayat ini:

يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِ. وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ

‘Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.’ [Al-Qaari’ah/101: 4-5]

Lalu dia menjerit, ‘Aduh alangkah buruknya.’ Kemudian dia melompat, lalu terjatuh, lalu aku melihatnya tampak lemah hingga aku mengira bahwa nyawanya akan keluar, kemudian dia tampak tenang, hingga aku mengira bahwa ajalnya telah tiba, kemudian dia mulai siuman, lalu berseru, ‘Aduh alangkah buruknya.’ Kemudian dia melompat dan berjalan mengelilingi rumah dan berkata, ‘Celakalah diriku pada hari di mana manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung laksana bulu yang dihambur-hamburkan.`” Fathimah berkata, “Tiada henti-hentinya dia melakukan hal seperti di atas hingga terbit fajar, kemudian dia terjatuh seakan-akan dirinya telah meninggal dunia hingga terdengar suara adzan menandakan waktu shalat Shubuh telah tiba. Demi Allah, aku tidak lagi mengingat malamnya itu demikian hanya saja kedua mata-ku telah mengantuk dan aku tidak kuasa menolak kesedihanku.”[11]

4. Tsabit al-Bannani rahimahullah
Dia adalah seorang imam panutan, Syaikhul Islam dan kunci dari sekian kunci kebaikan.

Ghalib al-Qaththan meriwayatkan dari Bakar al-Muzani, “Barangsiapa ingin melihat manusia pada masa ini yang paling rajin ibadahnya, maka hendaklah dia melihatnya pada diri Tsabit al-Bannani.”[12]

Syu’bah berkata, “Tsabit al-Bannani selalu membaca al-Qur-an setiap hari dan setiap malam dan dia selalu berpuasa sepanjang masa.”[13]

Hammad bin Zaid berkata, “Aku pernah melihat Tsabit menangis hingga tulang-tulang rusuknya tampak berlawanan.” [14]

Hammad bin Salamah berkata, “Tsabit pernah membaca ayat:

أَكَفَـرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَـوَّاكَ رَجُلاً

‘Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakanmu dari tanahnm, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan seorang laki-laki yang sempurna.’ (Al-Kahfi/18: 37), dan dia melakukan shalat malam sambil menangis dengan kerasnya dan mengulang-ulang ayat ini.”[15]

Tsabit selalu melakukan shalat malam, maka ketika memasuki waktu Shubuh, dia memegang kedua telapak kakinya dengan tangannya, lalu dia memijatnya, kemudian dia berkata: “Orang yang beribadah telah berlalu dan dia memutuskanku, aduh alangkah sedihnya.”[16]

Tsabit pernah berkata, “Aku merasakan susahnya shalat selama dua puluh tahun dan aku juga merasakan nikmatnya shalat selama dua puluh tahun.”[17]

Dia juga pernah berkata, “Tidak ada sesuatupun yang aku jumpai di hatiku yang lebih nikmat daripada shalat malam.”[18]

5. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
Dia adalah seorang imam, seorang hafizh (hafal banyak hadits) dan pemimpin ulama pada masanya.

Ibnu Mahdi berkata, “Aku selalu mengintip Sufyan dari malam ke malam, dia bangkit dalam kondisi yang menakutkan, dia memanggil-manggil, ‘Neraka, Neraka, Neraka’ telah menyibukkanku dari tidur dan keinginan-keinginan.”[19]

‘Abdurrazzaq berkata, “Tatkala Sufyan datang mengunjungi kami, kami memasak makanan untuknya, lalu dia memakannya, kemudian aku membawakan kismis Tha-if untuknya, lalu diapun memakannya, kemudian dia berkata, ‘Wahai ‘Abdurrazzaq, berilah makanan kepada keledai dan suruhlah dia bekerja keras.’ Kemudian dia berdiri untuk melakukan shalat hingga Shubuh.” [20]

‘Ali bin al-Fudhail bercerita, “Aku pernah melihat Sufyan sedang melakukan sujud, lalu aku melakukan thawaf sebanyak tujuh putaran sebelum dia mengangkat kepalanya.”[21]

Sufyan selalu keluar rumah dan berkeliling di malam hari, dia membasahi wajahnya dengan air hingga rasa kantuk pergi darinya[22]. Namun se kalipun dia selalu beribadah dengan bersungguh- sungguh, pernah juga terdengar dia berkata: “Aku senang jika aku selamat dari urusan ini sekedarnya saja, tidak menyengsarakanku dan tidak pula menguntungkanku.”[23]

6. ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah
Dia adalah salah seorang tokoh dan Syaikhul Islam, dia adalah orang ‘alim pada masanya dan pemimpin orang-orang yang bertakwa pada zamannya.

Nu’aim bin Hammad berkata, “Seorang laki-laki pernah berkata kepada Ibnul Mubarak, ‘Malam tadi aku membaca al-Qur-an dalam satu raka’at.’ Lalu Ibnul Mubarak berkata, ‘Akan tetapi aku mengenal seseorang yang semalaman tiada henti-hentinya mengulang-ulangi ayat: أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ‘Bermegah-megahan telah melalai-kanmu’ ( At-Takaatsur/102: 1), hingga Shubuh, dia tidak mampu melanjutkan ayat ini.’ Yang dimaksud adalah dirinya sendiri.”[24]

Muhammad bin A’yun, sahabat Ibnul Mubarak dan dia adalah seorang yang dermawan kepadanya, dalam beberapa perjalanan pernah berkata, “Pada suatu malam, ketika kami berada dalam peperangan melawan Romawi, Ibnul Mubarak pergi untuk meletakkan kepalanya memperlihatkan kepadaku bahwa dia sedang tidur. Lalu aku pun meletakkan kepalaku seakan-akan diriku pun ikut tidur. Lalu dia mengira bahwa diriku telah tidur, lalu dia bangun untuk melakukan shalat dan tiada henti-hentinya dia melakukan demikian hingga terbit fajar, dan aku selalu mengintipnya. Tatkala terbit fajar, dia membangunkanku dan mengira bahwa aku memang tidur. Dia berkata, ‘Hai Muhammad,’ lalu saya menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak tidur semalam.’ Tatkala dia mendengar ucapanku ini, aku tidak melihatnya setelah itu berbicara kepadaku dan tidak lagi memperhatikanku sedikitpun selama peperangannya ini seakan-akan hal itu tidak membuatnya senang karena kelicikan yang kuperbuat terhadapnya. Aku selalu merasakan hal itu hingga dia meninggal dunia dan belum pernah aku melihat orang yang lebih mencintai kebaikan daripada dirinya.”[25]

Tatkala menjelang kematiannya, Ibnul Mubarak tersenyum dan membaca ayat:

لِمِثْلِ هَذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ

Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” [Ash-Shaaffaat/37: 61]

Dan dia bersya’ir:

وَتَضْحَكُ لِلْمَـنَايَا وَهِيَ تَبْكِـي
لأَنَّكَ قَـدْ حَمَلْتَ لَهَا سِـلاَحَا

Engkau menertawakan kematian, padahal dia itu menagis
Karena engkau telah membawakan senjata untuknya.

7. Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah
Dia adalah seorang imam, seorang hafizh (hafal banyak hadits), ahli hadits negeri Iraq dan salah seorang imam dalam agama ini.

Yahya bin Aktsam berkata: “Aku pernah menemani Waki’ ketika ia di rumah dan dalam perjalanan, dia selalu berpuasa sepanjang tahun dan mengkhatamkan seluruh al-Qur-an dalam satu malam.”[26]

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Waki’, dia selalu menghadap ke kiblat, melakukan shalat malam, selalu berpuasa dan menghafalkan haditsnya.”[27]

Yahya bin Ayyub menceritakan dari sebagian teman Waki’, dia berkata, “Waki’ tidak tidur sebelum dia membaca juznya, sepertiga al-Qur-an setiap malamnya, kemudian dia bangun di akhir malam, lalu dia membaca surat-surat al-mufashshal (surat-surat pendek), kemudian dia duduk, lalu mulailah dia memohon ampunan hingga terbit fajar.”[28]

Ibrahim bin Waki’ berkata, “Ayahku selalu melakukan shalat hingga tidak tersisa seorang pun di rumah kami melainkan dia tetap melakukan shalat, termasuk pelayan wanita kami yang berkulit hitam.”[29]

Al-Hasan bin Abi Yazid berkata, “Aku pernah menemani Waki’ bin al-Jarrah ketika melakukan perjalanan menuju Makkah, aku tidak pernah melihatnya bersandar dan aku tidak pernah melihatnya tidur di sekedupnya (tandunya).”[30]

Keadaan Salafush Shalih di Malam Hari (2)

[Disalin dari kitab “Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun” karya Muhammad bin Su’ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh ‘Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Siyar A’laamin Nubalaa’, (IV/15).
[2] Siyar A’laamin Nubalaa’, (IV/16).
[3] Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 19).
[4] Siyar A’laamin Nubalaa’, (IV/19).
[5] Hilyatul Auliyaa’, (II/106) dan Shifatush Shafwah, karya Ibnul Jauzi, (III/37).
[6] Shifatush Shafwah, karya Ibnul Jauzi, (III/37).
[7] Hilyatul Auliyaa’, (II/112).
[8] Hilyatul Auliyaa’, (II/114).
[9] Siyar A’laamin Nubalaa’, (V/137).
[10] Siyar A’laamin Nubalaa’, (V/137).
[11] Siirah wa Manaaqib ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, karya Ibnul Jauzi, (hal. 223).
[12] Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/224).
[13] Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/224).
[14] Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/224).
[15] Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/225).
[16] Shifatush Shafwah, (III/175).
[17] Hilyatul Auliyaa’, (II/321).
[18] Shifatush Shafwah, (III/176).
[19] Taariikh Baghdaad, karya al-Khatib al-Baghdadi, (IX/157).
[20] Siyar A’laamin Nubalaa’, (VII/277).
[21] Siyar A’laamin Nubalaa’, (VII/277).
[22] Hilyatul Auliyaa’, (VII/29).
[23] Siyar A’laamin Nubalaa’, (VII/278).
[24] Siyar A’laamin Nubalaa’, (VII/397).
[25] Al-Jarh wat Ta’diil, karya Ibnu Abi Hatim, (I/266).
[26] Siyar A’laamin Nubalaa’, (IX/142).
[27] Shifatush Shafwah, (III/349).
[28] Siyar A’laamin Nubalaa’, (IX/149).
[29] Shifatush Shafwah (III/349).
[30] Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/399).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/732-keadaan-salafush-shalih-di-malam-hari-1.html